Arah Baru Menjawab Tantangan Demokrasi Konstitusional

Oleh: Pendy Wijanarko

(Staf Humas & SDM KPU Jakarta Timur)

Di tengah turbulensi politik yang kian dinamis, demokrasi konstitusional Indonesia menghadapi ujian paling serius sejak era reformasi. Mekanisme yang selama ini dianggap sebagai tiang kokoh (seperti konstitusi, lembaga perwakilan, hingga proses pemilihan umum) tidak lagi cukup menjadi jaminan bahwa demokrasi berjalan sesuai cita-cita awalnya. Ketegangan antara legalitas dan legitimasi semakin sering muncul, memaksa publik mempertanyakan arah demokrasi kita. Masihkah ia berpihak pada kedaulatan rakyat atau perlahan digeser oleh kepentingan kekuasaan?

Tantangan itu muncul dari dua arah. Pertama, datang dari dalam institusi demokrasi sendiri. Proses legislasi yang kerap terburu-buru, perdebatan publik yang terpinggirkan, hingga tafsir konstitusi yang cenderung politis, memperlihatkan bahwa demokrasi dapat melemah bukan hanya oleh pelanggaran aturan, tetapi juga oleh manipulasi atas aturan itu. Kedua, datang dari perubahan sosial yang bergerak lebih cepat dibanding kesiapan negara. Informasi digital, polarisasi identitas, dan politik algoritma memecah ruang publik sehingga dialog rasional dalam konteks membangun fondasi demokrasi justru sering tenggelam oleh gelombang emosi dan misinformasi.

Karena itu, demokrasi konstitusional membutuhkan arah baru, bukan dalam arti mengganti konstitusi sebagai fondasi, tetapi menegaskan kembali semangat yang menghidupinya. Ada tiga langkah mendesak. Pertama, memperkuat lembaga kontrol, terutama mereka yang bekerja menjaga keseimbangan kekuasaan. Transparansi putusan dan kinerja lembaga publik harus menjadi standar, bukan sekadar slogan. Kedua, menghadirkan partisipasi publik yang lebih otentik. Demokrasi tidak cukup dengan hadir di bilik suara, ia menuntut ruang partisipasi yang memungkinkan warga terlibat dalam penyusunan kebijakan sejak tahap awal. Ketiga, membangun literasi digital politik yang menyeluruh agar masyarakat dapat membedakan informasi dari manipulasi.

Arah baru ini pada akhirnya menuntut keberanian: keberanian institusi untuk menahan diri dari godaan kekuasaan, keberanian warga untuk aktif bersuara, dan keberanian elite politik untuk memulihkan kepercayaan publik. Demokrasi konstitusional tidak pernah selesai dikerjakan, ia hidup sejauh rakyatnya bersedia merawatnya.

Di tengah berbagai tantangan, Indonesia tetap memiliki modal penting: kesadaran kolektif bahwa demokrasi bukan hanya sistem politik, tetapi nilai yang mencerminkan martabat sebagai bangsa merdeka. Arah baru bukan berarti meninggalkan masa lalu, melainkan menyempurnakannya agar demokrasi tetap relevan dan berpihak pada rakyat. Karena pada akhirnya, masa depan demokrasi bukan ditentukan oleh konstitusi semata, tetapi oleh komitmen kita untuk menegakkannya.

Catatan:
Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Lembaga maupun Redaksi

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 44 Kali.