KPU Kota Jakarta Timur Terbitkan Maklumat Pelayanan Publik sebagai Komitmen Peningkatan Kualitas Layanan | 2,3 Juta Pemilih Jakarta Timur Ditetapkan dalam Pleno PDPB Triwulan III Tahun 2025 | Anggota KPU RI August Mellaz Berkunjung ke KPU Jakarta Timur dan Museum Perjalanan Pemilu

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Arah Baru Menjawab Tantangan Demokrasi Konstitusional

Oleh: Pendy Wijanarko (Staf Humas & SDM KPU Jakarta Timur) Di tengah turbulensi politik yang kian dinamis, demokrasi konstitusional Indonesia menghadapi ujian paling serius sejak era reformasi. Mekanisme yang selama ini dianggap sebagai tiang kokoh (seperti konstitusi, lembaga perwakilan, hingga proses pemilihan umum) tidak lagi cukup menjadi jaminan bahwa demokrasi berjalan sesuai cita-cita awalnya. Ketegangan antara legalitas dan legitimasi semakin sering muncul, memaksa publik mempertanyakan arah demokrasi kita. Masihkah ia berpihak pada kedaulatan rakyat atau perlahan digeser oleh kepentingan kekuasaan? Tantangan itu muncul dari dua arah. Pertama, datang dari dalam institusi demokrasi sendiri. Proses legislasi yang kerap terburu-buru, perdebatan publik yang terpinggirkan, hingga tafsir konstitusi yang cenderung politis, memperlihatkan bahwa demokrasi dapat melemah bukan hanya oleh pelanggaran aturan, tetapi juga oleh manipulasi atas aturan itu. Kedua, datang dari perubahan sosial yang bergerak lebih cepat dibanding kesiapan negara. Informasi digital, polarisasi identitas, dan politik algoritma memecah ruang publik sehingga dialog rasional dalam konteks membangun fondasi demokrasi justru sering tenggelam oleh gelombang emosi dan misinformasi. Karena itu, demokrasi konstitusional membutuhkan arah baru, bukan dalam arti mengganti konstitusi sebagai fondasi, tetapi menegaskan kembali semangat yang menghidupinya. Ada tiga langkah mendesak. Pertama, memperkuat lembaga kontrol, terutama mereka yang bekerja menjaga keseimbangan kekuasaan. Transparansi putusan dan kinerja lembaga publik harus menjadi standar, bukan sekadar slogan. Kedua, menghadirkan partisipasi publik yang lebih otentik. Demokrasi tidak cukup dengan hadir di bilik suara, ia menuntut ruang partisipasi yang memungkinkan warga terlibat dalam penyusunan kebijakan sejak tahap awal. Ketiga, membangun literasi digital politik yang menyeluruh agar masyarakat dapat membedakan informasi dari manipulasi. Arah baru ini pada akhirnya menuntut keberanian: keberanian institusi untuk menahan diri dari godaan kekuasaan, keberanian warga untuk aktif bersuara, dan keberanian elite politik untuk memulihkan kepercayaan publik. Demokrasi konstitusional tidak pernah selesai dikerjakan, ia hidup sejauh rakyatnya bersedia merawatnya. Di tengah berbagai tantangan, Indonesia tetap memiliki modal penting: kesadaran kolektif bahwa demokrasi bukan hanya sistem politik, tetapi nilai yang mencerminkan martabat sebagai bangsa merdeka. Arah baru bukan berarti meninggalkan masa lalu, melainkan menyempurnakannya agar demokrasi tetap relevan dan berpihak pada rakyat. Karena pada akhirnya, masa depan demokrasi bukan ditentukan oleh konstitusi semata, tetapi oleh komitmen kita untuk menegakkannya. Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Lembaga maupun Redaksi

Merawat Kohesi Sosial Pasca Pemilu: Saatnya Menagih Janji, Bukan Mengungkit Polarisasi

Oleh: Pendy Wijanarko (Staf Humas & SDM KPU Jakarta Timur) Pemilu telah usai. Suara rakyat telah dihitung, para pemenang telah ditetapkan, dan proses demokrasi kembali menunjukkan kedewasaannya. Namun, di balik dinamika politik dan euforia hasil pemilu, ada pekerjaan besar yang menanti kita bersama yaitu merawat kohesi sosial agar semangat kebersamaan tidak terkoyak oleh perbedaan pilihan. Pemilu Adalah Awal, Bukan Akhir Pemilu seharusnya menjadi sarana untuk memperkuat persatuan, bukan alasan untuk memperlebar jarak antarwarga. Dalam setiap pesta demokrasi, perbedaan pilihan merupakan keniscayaan. Namun, setelah seluruh tahapan selesai, masyarakat perlu kembali pada kesadaran bahwa kita semua berada di perahu yang sama sebagai warga negara yang menginginkan kesejahteraan, keadilan, dan pemerintahan yang amanah. Kini saatnya menggeser fokus dari siapa yang menang atau kalah, menuju bagaimana hasil pemilu dapat menghadirkan manfaat nyata bagi masyarakat luas. Pemilu bukan hanya momentum memilih, tetapi juga momen menanam harapan. Kini para kandidat telah menyampaikan visi, misi, dan janjinya kepada publik. Maka, pasca pemilu, masyarakat berhak dan bahkan wajib untuk menagih janji politik tersebut sebagai bentuk partisipasi aktif dalam demokrasi. Menagih janji bukan tindakan konfrontatif. Sebaliknya, ia merupakan cara elegan untuk memastikan agar komitmen politik benar-benar diwujudkan menjadi kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat. Namun, penting diingat bahwa menagih janji tidak boleh dilakukan dengan mengungkit kembali polarisasi politik. Sudah saatnya kita menutup lembar perbedaan pilihan, dan membuka lembar baru pengawasan bersama terhadap kinerja pemerintahan terpilih. Kohesi Sosial Sebagai Pilar Demokrasi Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan, kohesi sosial merupakan fondasi utama agar hasil pemilu dapat diterima dengan lapang dada oleh semua pihak. Demokrasi tanpa kohesi sosial hanya akan melahirkan ketegangan berkepanjangan. Karena itu, masyarakat perlu terus memperkuat semangat gotong royong, saling menghargai, dan menjaga ruang publik tetap inklusif. Dalam hal ini, KPU berkomitmen untuk terus melaksanakan pendidikan pemilih dan sosialisasi politik secara berkelanjutan dan berkesinambungan untuk menumbuhkan kedewasaan berdemokrasi di tengah masyarakat. Peran media, tokoh masyarakat, serta komunitas lokal juga penting untuk menjadi penyejuk suasana dan menjembatani komunikasi antara masyarakat dan pemimpin terpilih. Menutup Luka, Menguatkan Harapan Setelah semua suara dihitung dan keputusan ditetapkan, tibalah saatnya bagi kita untuk menatap ke depan. Tidak ada manfaat dari terus mengungkit perbedaan pilihan politik yang telah berlalu. Yang lebih penting adalah memastikan agar amanat rakyat dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh mereka yang telah dipercaya. Menagih janji politik adalah wujud kontrol sosial yang sehat; sedangkan menghindari polarisasi adalah kunci untuk menjaga keutuhan bangsa. Keduanya harus berjalan beriringan agar demokrasi kita tumbuh matang dan beradab. Pada akhirnya, pemilu bukanlah akhir dari perjalanan demokrasi, melainkan awal dari tanggung jawab bersama untuk memastikan janji-janji politik berubah menjadi kerja nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Lembaga maupun Redaksi

Publikasi